Masing-masing perusahaan atau tempat kerja memiliki nilai yang dianut sebagai indikator kinerja. Indikator ini ada yang objektif, tapi ada juga yang subjektif. Di dunia kerja, terkadang muncul like and dislike, istilah tim dan bukan tim, antek-antek dan oposisi. Wajar ya, interaksi akan menimbulkan gesekan.
Pada artikel ini, saya ingin berbagi cerita saya yang bisa dibilang adalah titik balik saya dalam memandang dunia kerja selanjutnya. Well, buat pengingat saya juga, agar semakin hari semakin baik.
Daftar isi
Menjadi profesional di dunia kerja
Mari kilas balik tentang kegagalan percobaan pipetting pertama saya di laboratorium saat workshop tahun 2017. Melihat alatnya saja baru sekali, memencet alatnya saya grogi. Terus terang saya gusar sekali dengan kegagalan waktu itu. Saya lihat salah satu pemandu melakukannya dengan sangat cepat dan semuanya berhasil. Saya lupa namanya, dia baru setahun lulus S1.
Saya bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu bisa begitu ahli, dan mengapa saya sangat payah?”
Saat itu dia tertawa dan berkata, “Baru pertama kali mencoba? Saya sudah melakukan ini sejak semester 2 kuliah. Tidak berhenti sampai sekarang, karena itulah rutinitas pekerjaan saya.”
Lalu saya pun tertawa lega, menyadari bahwa saya belum punya ‘jam terbang’ sepertinya.
Penilaian objektif di dunia kerja
Tidak ada satu orang pun yang bisa menguasai seluruh macam hal di dunia ini. Untuk menjadi seseorang yang profesional, butuh waktu dan fokus mempelajari suatu hal secara konsisten. Untuk mengukur tingkat keahlian seseorang secara objektif, terkadang butuh bukti sertifikat. Oleh karenanya, seseorang yang profesional akan sangat ahli di bidangnya, dan dia dibayar untuk itu.
Sayangnya, banyak pihak yang ingin bekerja dengan seorang profesional, namun enggan mengapresiasi secara profesional. Kadang seseorang dianggap bersikap ‘profesional’ bila menerima segala pekerjaan yang diberikan kepadanya. Walaupun, bisa jadi pekerjaan tersebut bukan bidangnya, atau malah di luar wewenangnya. Mana yang mudah ditemui, mana yang mudah diakses, the place is yours!
Kamu dipilih karena profesional atau karena available?
Pertanyaan di kepala
Perlukah pakai hati?
Ada skala prioritas dalam hidup ini. Karena waktu kita cuma 24 jam sehari, maka menambahkan waktu untuk 1 kegiatan akan mengurangi waktu kita untuk kegiatan yang lain. Kita mencintai pekerjaan kita, kita berjuang, bukan berkorban. Kalau berjuang artinya kita yang semangat, walaupun nantinya jadi korban, itu adalah konsekuensi perjuangan. Tapi kalau dari awal sudah merasa berkorban, biasanya akan capek.
Loyal boleh, tapi tetap sesuai aturan atau kode etik profesi. Institusi resmi pasti ada aturan dan goal. Kalau waktu, tenaga, uang, perasaan juga dikorbankan, nanti bingung, ini institusi/perusahaan apa lembaga sosial. Bahkan lembaga sosial saja kerjanya profesional, hehehe.
Berjuang juga pakai hati masing-masing, jangan pakai hati orang lain. Berusaha objektif. Jangan libatkan masalah personal dengan masalah kantor. Bertanggung jawab dan punya integritas adalah sikap yang juga harus dimiliki seorang yang profesional.
Selama perusahaan bukan milik keluarga, jangan mudah sakit hati, nanti pusing sendiri. Yang penting, bagaimana caranya memberi yang terbaik yang kita bisa, secara profesional.
Kita berjuang bukan berkorban
sebuah prinsip
Tim kerja dan kedudukan di dalamnya
Ini adalah cerita ketika saya masih kuliah. Suatu hari di sebuah rapat online; netmeeting dulu kami menyebutnya, untuk pertama kalinya saya bercengkerama dengan mahasiswa Fakultas Kedokteran dari luar kampus saya. Salah satunya bernama Icha. Almamaternya sama kuning tapi warna miliknya lebih muda. Saat itu kami akan rapat untuk mempersiapakan Musyawarah Nasional (Munas) organisasi mahasiswa di Jakarta. Icha ini rajin sekali, datang duluan, cekatan menyimpulkan hasil rapat, begitu semangat. Saya lupa istilah yang dipakai waktu itu, tapi tugas Icha kira-kira sebagai penanggung jawab rapat persiapan untuk acara Munas, perwakilan dari badan pers fakultasnya.
Sebuah bias tentang ‘rajin’
Tibalah saat Munas dilaksanakan, kami semua berkumpul di Jakarta. Icha masih sama, tak surut semangatnya mengikuti jalannya rapat. Semua orang tahu, betapa berdedikasinya Icha dalam kegiatan tersebut. Hingga tibalah kami pada sesi pemilihan ketua. Kami pun diberi waktu untuk berpikir, siapakah yang pantas ditunjuk sebagai ketua organisasi tersebut. Saya bukan satu-satunya yang merasa, bahwa Icha adalah orang yang layak ditunjuk. Beberapa perwakilan menggumamkan hal yang sama.
Selama masa rehat itu, saya mendekati beliau dan menyampaikan, “Saya berniat memilihmu jadi ketua. Kamu rajin, kamu paling menguasai acara kita ini sejak awal. Menurut saya, kamu yang paling layak untuk menjadi ketua organisasi ini. Bagaimana menurutmu?”
Dia menghela napas, “Saya melakukan itu semua, bukan karena rajin, tapi karena itu memang tugas saya. Yang lain bisa jadi lebih pantas, tapi kita memang baru bertemu di sini, jadi belum kenal.”
Lama saya terdiam, mencerna kalimatnya itu, seraya mengingat kembali berbagai pengalaman dalam dua puluh tahun terakhir hidup saya. Oh, tidak. Tidak ada saya dapatkan bayangannya. Siapa yang juara kelas, dia dianggap serba bisa, maka segala perlombaan berbagai bidang selalu diikutkan orang yang sama. Siapa di kelas yang sering tunjuk tangan, maka yang itu lagi ditunjuk untuk menjawab di lain kesempatan. Semua berfokus pada hasil, tidak ada kesempatan untuk bertumbuh bagi yang lain.
Rajin pangkal disuruh
Kata teman
Orkestra dunia kerja
Akhirnya, berdasarkan musyawarah, terpilih ketua yang baru. Masih muda sekali, masih mahasiswa baru di kampusnya. Posisinya di badan pers juga tambah newbie lagi, benar-benar baru masuk. Tingkat lokal belum pernah pegang jabatan bergengsi. Bicara saja grogi. Tiba-tiba didapuk jadi ketua nasional. Sanggupkah?
Karena organisasi mahasiswa itu ranah belajar berorganisasi, semuanya anggota boleh belajar. Senior belajar mengayomi junior, junior mau belajar dari senior. Meninggalkan siapapun yang memimpin di atas sana sendirian, sehebat apapun dia, tak akan sanggup. Orkestra ini diisi alat musik berbagai jenis, kontribusi berbagai skill, konduktor tidak goyang-goyang sendiri.
The show must go on! Pemain musik tidak boleh ngambek. Konduktor juga tidak boleh semena-mena mengambil pemain dari luar sebagai pengganti. Atau malah bekerja sendiri. Terbukti, dengan dukungan dari semua pihak, target tercapai, semua aman dan terkendali. Memang, risiko gagal membayangi. Tapi, mana kita tahu hasilnya bila tidak mencoba. Yang penting semua anggota bekerja totalitas.
Benarkah ‘nggak ada orang lain’?
grup loe lagi loe lagi
Perang seorang pemimpin sangat penting di dunia kerja. Pemimpin itu yang menentukan arah, mau dibawa kemana perusahaan. Namun, tidak semua pemimpin bertindak sebagai leader, kebanyakan hanya bertindak sebagai boss. Apa sih bedanya?
Boss vs leader?

Ada sebuah artikel menarik tentang Leading and Managing dalam konteks intitusi pendidikan yang menggambarkan hal tersebut. Artikel tersebut menyatakan bahwa dua jenis pemimpin (contohnya pada artikel ini adalah dekan sebagai leader dan kepala departemen sebagai manager) melalui proses yang berbeda untuk mencapai goal yang sama, keduanya harus memiliki kemampuan leading dan managing.
Leading and managing are not just inseparable, they are one and the same
Azad dkk
Meskipun nampaknya terpisah, namun ternyata dua peran tersebut harus dimiliki seorang pemimpin. Dipakainya tergantung situasi, dan mungkin tergantung anggota/ bawahannya juga. Kadang-kadang kita bertemu orang yang super teknis, tidak mau pusing dengan konsep. Mungkin lebih suka bekerja di bawah manager yang bossy. Beri tahu apa saja yang harus dikerjakan, ikut saja, yang penting selesai. Namun, ada juga yang perlu tahu konsep supaya dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Nah, saya sendiri masih harus banyak belajar menjadi staf yang baik dan berlatih menjadi leader. Mau tidak mau, kita adalah pemimpin, setidaknya pemimpin diri sendiri.

Atasan tu kadang sifatnya sbg bos kdg ada juga yg sifatnya leader. Ada juga gabungan keduanya. Pernah saya dapat semua. Abg bawahan saya menyesuaikan saja. Saya juga belajar poaitifnya dari mereka, sbg bekal unt diri juga, sama. Hehe
Iya kita juga belajar sebagai bekal jadi boss..hehehe
Kalau dapat atasan yang bersikap sebagai leader, anak buah pun pasti senang. Beda akalu atasannya berlaku sebagai bos, main tunjuk sana-saini seenaknya aja.
Menarik ini pembahasannya tentang dunia kerja, saya bacanya sambil senyum-senyum dan mengingat lagi masa-masa awal jadi pekerja
Jadi inget jaman kerja dulu. Ada bos yang sok bossy, wise, pilih kasih. Ada staf yang bermuka dua, carmuk dkk. Pokonya baca ini sambil mesem. Hehe.
Dunia kerja emng memiliki kehidupan yang beda ya kak. Pun penemun kecocokan dengan atasan.
Ya harus banyak sabar.
Jadi inget waktu saya jadi firstjobber, saya juga banyak mengalami kendala di waktu pertama kali bekerja, karena memang bekerja secara profesional itu perlu jam terbang.
Jadi memang tidak apa-apa masih kagok di awal, yang penting terus mau belajar
Tapi terkadang menjadi bossy itu perlu ya kak, ada seorang boss yang entahlah saking membaurnya dan saking baiknya dengan para pegawainya malah kurang dihormati gitu
Pengalaman organisasi di kampus kepake banget ya di dunia kerja, bahkan rumah tangga dan baru sadar, bener juga sih, kadar nge bossy dan nge leader hrs seimbang ya dalam dunia kerja
Memang ‘pemakaian hati’ di dunia kerja itu dibutuhkan tapi tidak sepenuhnya hingga jadi korban ya. Kadang ada pihak yang malah memanfaatkan celah, jadinya enggak nyaman juga.
Iya, yang sedang-sedang saja
Sebelum memimpin orang lain, lebih baik belajar memimpin diri sendiri sendiri dulu. kalau sudah bisa, akan jadi pemimpin yang bijak nantinya. karena apa yang sering kita rasakan, sama dengan yg dirasakan orang lain. dan semua punya hak sama untuk jadi pemimpin. siapapun bisa. yakin deh
Dunia kerja memang sering banget terjadi kayak di atas kak.
Dulu karena passion saya di dunia radio, saya bisa hadir jam 6 pagi siaran pagi lalu pulang jam 10 malem setelah puas di studio setelah menyelesaikan kerjaan kantor juga..
Tapi memang, kadang perusahaan kurang memperhatikan hak dan kewajiban pekerja.
Ibarat pepatah, hargailah orang lain kalau mau dihargai. Begitu juga dalam dunia kerja ya. Profesional atau enggak, setidaknya kita punya etika dalam menjalankan nya.
Btw soal jam terbang, mungkin karena itu ada istilah bisa karena terbiasa. Banyak berlatih, sehingga jadi terampil…
Jujur saya lebih senang dipimpin oleh pimpinan yg tidak hanya menjadi bos tp juga leader. Krna kalau seorang leader bisa membimbing bawahan’y utk bukan hanya bekerja a b c sesuai perintah tp juga berpikir dan diberi kesempatan untuk mengembangkan konsep sendiri.
Kalaupun jd atasan pastinya nggak mau ya yg bisa’y nyuruh2 doang, tp memang harus jd pemimpin yg pnya wibawa dan cerdas..
Kalo saya dulu, menemukan watak seorang leader dari seorang bos itu lumayan susah, apalagi si bos itu juga sekaligus adalah pemilik, biasanya bossy banget. Entahlah, kenapa bisa begitu yah?
Kalau perusahaannya dia yang punya, wajarlah dia bossy hahahah. Soalnya apa yang terjadi di perusahaan itu langsung mempengaruhi keuangannya.
Meskipun saya bukan wanita yang berkarir diluar rumah. Tapi, saya juga ikut merasakan apa yang dirasakan suami saya. Benar sekali mbak, karena kantor itu bukan milik keluarga, jadi jangan ambil pusing. Lakukan yang terbaik yang bisa kita beri
Iya, jangan pakai hati
Baru-baru ini saya juga belajar arti leader itu. Menjadi boss mudah, suruh ini itu. Tapi menggerakkan hati orang, gak semua orang bisa.
Iya, itu bukan perkara mudah, apalagi kalau sudah ada dislike dari anak buah
Baca ini jadi ingat masa masa jadi fulltime worker di kantor…
Inspiratif tulisannya mbak
Sekarang full time di rumah ya mbak
Alhamdulillah sejauh ini dapatny atasan yg baik2 bhkn cenderung saaabarrr
Jd inget pernah punya atasan beda agama dan beliau ingetin bwt solat
Alhamdulillah, rezeki banget.
Memimpin dan dipimpin. Begitulah dalam dunia kerja. Bos yang sekaligus menjadi pengayom, itu sih yang diharapkan. Dimana keberadaannya selalu diharap dan menyelesaiakn masalah pekerjaan menjadi kesenangan, bukan beban.
Yup, kalau saya senang di profesi saya sekarang.
Apakah seseorang dianggap profesional mba ketika banyak mengkritik dan mengeluh akan pekerjaannya?
Kalau yang sesuai kesepakatan, perjanjian kontrak, ya nggak ada lagi yang perlu dikeluhkan. Tapi kalo ada pelanggaran kontrak, ketidakjelasan tupoksi, itu dari awal sudah tidak profesional perusahannya. Profesional itu: kita ahli, dan dibayar untuk keahlian kita. Kita dikontrak, ditugaskan dengan surat resmi karena kemampuan kita, dan mendapat apresiasi dari itu. Kalau sistem perusahaannya yang tidak profesional karena orang-orang di dalamnya, wajar bila dikritik.
Yang tidak profesional itu mengeluhkan hal yang sudah jadi tanggung jawabnya, misalnya sesuai kontrak yang disepakati wajib ngajar 10 kali, tapi mengeluh capek ngajar 10 kali, maunya 5 kali saja. Nah, itu tidak profesional.
duh aku ngakak sama rajin pangkal di suruh, kalo pengalaman aku dulu. tergantung sama management perusahaan dan bos kita. kalo saya si bos dukung banget anak buahnya untuk maju. dicariin pekerjaan yang sesuai minat bakat dan bakalan diusahakan ngomong ke HRD untuk dijadiin pegawai tetap. iya sampai segitunya, tapi asalkan kerja bagus dan enggak males, hehe. tapi saya udah kadung gedeg dulu sama perusahaannya, jadi milih resign wkwkwk.
Kadang-kadang bossnya baik, tapi perusahaan kan bukan punya dia. Makanya jadi serba salah.
Pernah ngerasain beberapa hal di atas saat masih menjadi working mom dulu. Walaupun bukan terjadi pada saya, ada teman saya yang ‘jam terbang lebih tinggi’ dan layak untuk berada pada suatu posisi tapi kalah oleh faktor like and dislike.
Bacaan bagus nih. Bisa saya ceritakan ke misua yang kadang suasana di kantornya ada yang seperti Mbak sebut.
Ini dia, faktor like dan dislike. yang di ‘like’ dibilang rajin kerja. Yang nggak mau nurut jadi golongan ‘dislike’.
Jadikan pengalaman menjadi pelajaran.
Setelah mendapat pengalaman sebagai anggota tim, maka kita bisa meningkatkan skill dan kredibilitas kita sehingga layak dan mendapatkan peluang untuk memimpin sebuah tim.
Jadilah pemimpin tim yang baik. Jangan sampai kita menjadi pemimpin seperti yang kita kritisi dulu. Ambil pelajaran yang baik saat dulu kita dipimpin.
Nah bener ini. Kalau mau jadi pemimpin, rasakan jadi anak buah dulu. Apa sih yang diharapkan dari anak buah sebagai seorang pemimpin.
Kayaknya memang dalam masyarakat kita orientasi hasil itu yang masih jadi tolok ukur. Mungkin karena mengukur keberhasilan dari hasil jauh lebih mudah dari pada menilai proses. Setuju Mbak, kita semua berhak berproses menjadi seorang leader. Setidaknya leader untuk diri kita sendiri.
Iya, apa boleh buat. Memang yang dilihat hasil akhir, yang lihat proses cuma Tuhan hahaha
Leader biasanya membuat bawahan atau tim nya lebih nyaman untuk bekerja, lebih dekat dan lebih loyal biasanya ya, klo boleh memilih saya sih lebih baik menjadi leader daripada bos..hehe..
Kadang jadi yang available lebih disukai bos daripada yang ahli, dan jadinya job desk lain juga ‘terpaksa’ dikerjakan karena perintah, walaupun ingin hati menolak.
Dilematika menjadi karyawan. So, menjadi bos untuk diri sendiri lebih menyenangkan ya Mbak pastinya. Bebas merdeka..hehe..
kalo kita yang jadi boss berarti ada karyawannya juga ya mbak?
dalam dunia kerja pastinya kalau karir cepat naik kita harus menonjol terutama dalam bidang kompetensi selain itu penting juga kayaknya membangun relasi di dunia kerja dalam urusan jenjang karir
Kadang ketika skill kita menonjol, kita dijadikan babu dan dijadikan batu loncatan orang lain untuk mendapatkan apresiasi.
Segala hal bisa saja terjadi di dunia kerja. Bahkan saling sikut untuk mendapat sebuah posisi pun bukan hal asing.
Seharusnya memang kita bisa saling share. Lakukan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita dengn baik.
Maka, hasil yang baik akan mengikuti. Jika pun belum sesuai ekspektasi, bukan berarti kita bisa dianggap kurang mampu.
Tapi, kita harus berusaha lebih baik lagi. Cemiau…
Ditambah lagi rasa legowonya yang banyak ya mbak 🙂
Saya jadi teringat konsep “The right man in the right place”
Cuma masalahnya menemukan “right man” itu cenderung susah karena sebagian besar orang menyembunyikan kemampuannya karena takut menjadi repot saat menjadi titik tumpu.
Nahhhhh, ini dia….. Bener banget. Banyak orang tuh yang bisa, tapi pura-pura bego. Ketika satu orang berbagi ide atau solusi untuk kebaikan bersama, maka seluruh beban akan ditumpukan padanya, sehingga ia berkutat mengerjakan yang itu-itu saja. Tidak sempat mengembangkan skill lain. Dan akhirnya yang pura-pura bego itu melejit maju dan berkembang karena ‘skill simpanannya’ makin banyak setelah dia kumpulkan di ‘pertapaan’. Inilah akhirnya menyebabkan kelelahan, dan akan muncul istilah, “yang kerja terus siapa, yang dapat apresiasi siapa.”
Bekerja dari hati ya kak, artikel ini menyentuh hatiku. Dimana tempat aku kerja sering lihat teman yang suka-suka hati masuk, namun salary lebih besar dari pada kita. Gak ditegur. Huhuhu. Balik lagi ke hati, jadi kukasihani aja deh tipe teman kayak gini, di dunia iya dia gak direspon apa-apa, tapi masih ada akhirat ‘kan? itu kan tanggungjawab yang wajib.
Iya, jangan dipikirin ini mah..
Nah lho… Rajin saat bekerja nih kadang suka bias emang. Kita berusaha melakukan apa yang menjadi tanggung jawab kita eh dibilang rajin. Bagus sih. Tapi kan bukan begitu artinya. Hehehehe
Makanya saat pekerjaan kita telah selesai dan mencoba menikmati waktu santai, pandangan orang atau teman kerja malah jadi miring. Hehehhe
iya serba salah ya mbak. Mungkin lebih tepatnya kita santai saja mengerjakan kerjaan yang bagian kita.
Begitulah dunia kerja ya, ada yang bossy, ada yang leader. Patokanku hanya manusia itu tidak ada yang sempurna. Meskipun hubungan antara atasan dan bawahan perlu kesinmabungan yang baik agar suasana kerja jadi nyaman, kerjaan juga lancar.
Suka dukanya dunia kerja tidak terlepas dari pekerjaan dan orang-orangnya. Pas kemarin saudara bilang gk mau nunjukkin skill lebihnya di kerjaan takutnya dikerjain dan di manfaatin. Gak tahu dia bisa berpikir begitu hihi.
Like and dislike pasti ada saja ya sebagai intrik di perkantoran. Soal indikator juga sulit dilihat subjektif atau objektifnya apalagi kalau yang jadi parameter adalah hal yang kualitatif. Beda kalau ukuran KPI-nya yang sifatnya kuantitatif, udah pasti nggak bisa dimanipulasi oleh hati. And, kalau saya sendiri memang jarang ambil pusing. Sebisa mungkin kewajiban saya dilakukan dengan baik. Walau mendapatkan teman kerja yang support, juga salah satu faktor membuat kita bekerja lebih nyaman.
benar banget nih, setiap kita itu adalah pemimpin, setidaknya bagi diri kita sendiri, menggerakkan diri untuk bisa melakukan hal yang lebih baik setiap harinya.
jadi kangen kerja deh kalau kayak gini, kerja dalam tim, kerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas secara bersama.
tentunya kangen Payday dan THRnya juga *ehhh