Berawal dari cuitan Mbak Iim Fahima, diskusi dan perdebatan terus mengalir baik di dalam maupun di luar kolom komen twitternya. Rangkaian cuitannya berisikan tentang perempuan yang sulit berkembang karena dibebani tugas domestik. Dalam hal ini, perempuan yang sudah berumah-tangga. Pro dan kontra bermunculan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Saya lalu iseng-iseng mencoba menyimpulkan apa yang mendasari polarisasi pendapat ini.
Kontra
Ada yang menganggap bahwa urusan domestik memang merupakan kewajiban seorang istri. Suami wajib mencari nafkah, istri menjaga anak di rumah. Pernikahan bukan ikatan kontrak yang berarti urusan domestik yang dikerjakan istri harus dibayar nominalnya. Pernikahan akan samawa bila ada kesadaran dari sang istri untuk mengerjakan kewajiban tersebut. Pendapat seperti ini dianggap cenderung feminis dan bertentangan dengan Al-Quran.
Pro
Pihak yang pro menyetujui bahwa sesungguhnya suami itu harus menyiapkan segala kebutuhan istri, dan tidak memperlakukan istri selaku ART yang tidak dibayar. Bahkan, dalam soal makanan saja, harus menyediakan makanan yang matang siap santap. ASI bayi saja merupakan tanggung jawab ayah (nah, loh!). Bila istri membutuhkan, suami harus menyediakan pembantu. Bila istri turun tangan dalam urusan domestik, itu harus dalam konteks rela, dan suami mesti tahu itu ada nominalnya.
Kewajiban suami vs kewajiban istri
Kalau mau tahu hasil diskusinya dan jawaban-jawaban bernas dari Mbak Iim, sila lanjut liat utasnya ya. Kalau saya sih memilih pro dengan pendapat tersebut, meskipun pada awalnya saya berada pihak yang kontra. Dulu, mindset saya sudah terbentuk bahwa kewajiban istri itu mengabdi pada suami. Urusan rumah tangga itu ya memang kewajiban seorang istri. Urusan pengasuhan juga adalah urusan ibu. Kalau ada apa-apa sama anak yang disalahkan juga ibu. Beratlah pokoknya jadi seorang perempuan. Ditambah lagi kalau dia juga bekerja, terutama yang tujuan bekerjanya untuk menambah pemasukan keuangan. Penghakiman perempuan sebagai ‘wanita karir’ yang melalaikan keluarga harus dihadapi. Tapi mindset saya berangsur-angsur berubah karena ayah dan menjadi kokoh ketika telah menikah.
Saya menikah ketika sudah bekerja. Saya beruntung bertemu suami yang memberikan izin untuk bekerja, sebagai wujud aplikasi ilmu saya yang saya tempuh bertahun-tahun dan dibiayai oleh orang tua saya. Saya ingin ini menjadi ilmu yang bermanfaat dan terus mengalir menjadi pahala orang tua saya. Urusan rumah tangga kami kerjakan sama-sama. Bila tidak mampu turun tangan langsung, saya disediakan asisten. Apapun yang saya kerjakan untuk urusan domestik, yang dinyatakan sebenarnya masih kewajiban suami (misalnya menyediakan makanan siap santap) adalah pilihan saya, karena saya mau, dan saya ikhlas mengerjakannya. Bila saya capek atau tidak sempat, kami bisa membeli di warung makan
Uang suami vs uang istri
Saya pernah mendengar ceramah seorang ustadzah, yang pada intinya sama dengan yang dibahas Mbak Iim. Bahwa uang suami adalah uang istri, namun uang istri adalah miliknya sendiri. Selain dari nafkah untuk urusan domestik, nafkah khusus istri juga ada. Mungkin istri mau ke salon, membeli baju, atau sekedar membeli bedak.
Bagaimana seandainya penghasilan suami pas-pasan? Lah namanya suami istri mestinya saling ridho, saat sedang naik, saat sedang turun, senang dan susah. Namun, yang terpenting suami harus tetap tahu bahwa nafkah khusus itu memang ada, sehingga bila nantinya sudah mapan, tidak lupa menyisihkannya. Sementara itu belum terwujud, minta ikhlasnya sama istri, apalagi kalau istri turut mencari nafkah untuk keluarga.
Lalu bagaimana bila istri berhenti berkarir karena diminta suami? Bukankah istri harus patuh pada suami? Ya patuhi saja, istri tidak bekerja kantoran bukan berarti tidak berdaya. Kita tidak tahu ke depan bagaimana takdir ditetapkan, setidaknya perempuan bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Tidak di kantor, tetap bisa kerja dari rumah juga kan?

Saat menikah, urusan rumah tangga adalah urusan bersama. Lakukan sebagai tim, dan saling ridho. Insya Allah jadi keluarga samawa.
@armelzahfauzi

Senng bacanya, jadi pingin artikel ini dibaca lebih banyak orngblagi. Ijin share ya mbk Armelzah:)
Silahkan mbak
Semoga bisa menginspirasi dan bermanfaat bagi banyak orng melalui tulisan ini:)
Aamiin mbak. Terima kasih.
Saya tim pro Mba. Tapi dengan beberapa catatan. Hehehe
Suami istri memang perlu paham hak dan kewajiban masing masing seperti yang diatur dalam agama. Jika sudah paham pastinya pembagian tugas domestik bisa dilakukan secara seimbang berdua.
Nah, ini sebenarnya yang masih simpang siur, karena ada yang bilang kewajiban istri tunduk sama suami artinya istri tugasnya melayani suami untuk urusan apapun. Batas hak dan kewajiban ini masih berbeda-beda tafsirnya.
Aku setuju, mbak. Walau suami yang wajib mencari nafkah, perempuan tetap harus punya penghasilan sendiri meskipun tidak harus bekerja kantoran.
Untuk jaga-jaga saja, karena kita kan nggak tahu ke depannya seperti apa.
Setuju, Mbak, saat menikah itu, semua urusan rumah tangga menjadi tanggung jawab bersama. Jika ada sesuatu hal yang memberatkan sebaiknya dibicarakan bersama. Karena kunci rumah tangga yang harmonis itu, terdapat komunikasi yang baik dan berkualitas
Nah, benar sekali, kuncinya komunikasi. Selama komunikasi lancar, mestinya tidak ada masalah.
Subhanallah seharusnya tidak ada pro dan kontra ya mbak tapi begitulah keadaannya
Iya,karena berbeda pendapat sebenarnya hal yang biasa, yang penting nggak gontok-gontokan, hehehehe.
Betul banget Mbak, enggak kerja di kantor juga bisa kerja di rumah. Urusan domestik beres, masih tetap bisa produktif juga, yang enting atur waktu dan kerja sama dengan semua anggota keluarga. Semoga sehat dan tetap produktif ya Mbak…
Iya, misalnya jadi penulis kayak Mbak Ati, kerjaan bisa sambil jalan. Semangat mbak..
Pro kontra ini sampai akhir jaman sepertinya enggak akan berhenti
Kalau menurut saya disesuaikan dengan kondisi saja, karena masing-masing pasutri pastii beda situasi dengan yang lainnya
Mending utamakan peningkatan kualitas baik diri, keluarga maupun keturunan kita
Ngeributin beginian enggak bakal ada habisnya
Selama rumah tangga yang bersangkutan fine-fine aja, ga ikut menyusahkan orang lain, tidak masalah memang mereka pakai mindset seperti apa. Tapi kadang ketemu yang ngeribetin orang lain, misalnya istri bekerja di kantor untuk menunjang finansial, urusan domestik juga istri yang kerjakan sehingga kerjaan kantornya terbengkalai. Sementara suami ongkang-ongkang kaki, itu mah ngerepotin rekan kerjanya.
Kalau menurut saya, intinya adalah kesadaran dan keikhlasan Mbak. Saya sendiri sudah mengalami mas-masa itu. Sebelum menikah, saya juga bekerja. Setelah lahir anak kedua, saya memutuskan berhenti demi mengasuh mereka berdua, karena bayak kendala jika saya tetap memaksakan diru untuk bekerja. Alhamdulillah, sekarang meskipun menjadi ibu rumah tangga yang full di rumah, saya tetap bersyukur, karena suami sangat mendukung saya untuk tetap belajar mengembangkan diri.
Masalah urusan domestik rumah tangga, kami sepakat untuk meminta bantuan ART karena kami juga harus merawat orang tua. Jadi intinya adalah, tetap bersyukur dan ikhlas menerima dan menjalankan peran kita dengan baik.
Nah benar sekali, yang penting kita ikhlas dan sepakat menjalaninya. Bila tidak sepakat akan timpang.
Eh, suami kita samaa mbak.. Sukanya mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, sebisa mungkin. Suami saya juga gitu, pernah plavon pvc dia coba pasang sendiri di kamar kamar anak, setelah mengamati pemasangan plavon pvc dari S*nda plavon di ruang keluarga.
Lihat paving atau plavon di pasang sendiri, mungkin beberapa orang mencibir kok gitu amat. Ada yg bilang istrinya pelit lah. Padahal kan memang suami sukanya utak atik gitu, dan memang jatuhnya lebih hemat juga kalau dipasang sendiri.
Bener ya mbak, keluarga memang harus kompak antara istri dan suami.
Iya, ada yang bilang kok pelit apa-apa dikerjakan sendiri. Tapi saya woles aja, wong dia karena hobi sih.
Ada sih orang-orang yang masih berpikiran bahwa istri sudah sepatutnya nurut apa kata suami. Semua urusan rumah menjadi tugas istri. Suami hanya mencari nafkah. Bahkan tidak sedikit yang nggak mau tahu urusan anak.
Iya, ada lelaki yang berpikir seperti itu. Tetapi tidak jarang juga, perempuan punya pola pikir seperti itu.
Menjadi wanita karier atau ibu di rumah bagiku sih sebuah pilihan yang bebas. Selama semua tanggung jawab sebagai istri dan ibu bisa dipenuhi, why not seorang perempuan bekerja di luar rumah. Apalagi kalau suami ternyata kurang bisa memenuhi tanggung jawabnya, terutama dlm hal finansial, ya sdh sewajarnya istri ikut membantu. Kalaupun secara materi sudah bia mencukupi tapi si istri butuh aktualisasi pun tak mengaoa bekerja. Asal sudah sepakat.
Dalam hal istri membantu financial rumah tangga atau bahkan mengambil alih sekalipun, tidak mengapa bila istri ikhlas. Namun, bila istri terpaksa melakukannya, mungkin mesti dibicarakan lagi pilihannya.
Mmm… saya pro atau kontra ya? Kayaknya saya ada di tengah-tengah deh. Saya setuju bahwa suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Nah, pemimpin yang baik akan bertindak sebagai partner kerja yang solid. Karena partner maka kedudukannya seimbang, jadi tidak ada kesewenang wenangan, pemaksaan apalagi kekerasan. Yang ada adalah saling membantu dan melengkapi.
Benar mbak, saling bantu dan melengkapi. Itulah hakikatnya bersatu dalam rumah tangga.
kewajiban juga iya dan tanggung jawab bersama juga iya… namanya membangun bahtera bersama 😀 keren tulisan nya, setuju mba
Iya kalau sama-sama sepakat, maka tidak ada masalah. Terima kasih sudah berkunjung.