Pernahkah Anda datang melayat? Atau pernahkah rumah Anda didatangi pelayat? How do you feel?
Pagi itu, sebelum berangkat kerja, saya sempat membuka feed instagram. Saya menemukan berita duka dari seorang artis tanah air yang ditinggalkan mendadak oleh suaminya. Berpuluh kamera mengelilinginya. Hingga saat ini, saya sedih menyaksikan di mana-mana tangis itu terlihat. Bukannya tidak boleh sedih, hanya saja kesedihan tersebut saya ragukan direkam dengan persetujuan. Berita daring menjadi jejak digital yang akan selalu terkenang-kenang. Yah, katanya itu risiko public figure. Tapi Beliau toh juga manusia biasa. Semoga Beliau selalu dikuatkan oleh-Nya.
Kita sebagai orang biasa mungkin tidak mendapat tempat di tajuk berita. Namun, siapa bilang tetap mudah? Tindakan melayat ke rumah keluarga orang yang meninggal dapat menjadi penghibur lara, namun dapat pula membuat luka. Cara kita membawa diri saat melayat dapat memengaruhi perasaan keluarga yang ditinggalkan.
Kehilangan orang yang kita cintai, mendadak maupun tidak, telah berlalu lama maupun baru terjadi, tetap saja terasa sakit.
Keluarga mungkin berada pada titik terendah
Pengalaman berkabung masing-masing orang berbeda. Bisa tetap tegar menerima, atau malah tak kunjung henti berduka. Mungkin tergantung kuat atau tidaknya hubungan sebelumnya, juga bagaimana proses membersamai hingga ajal menjemput. Umumnya semakin dekat hubungan, semakin lama waktu bersinggungan, maka rasanya akan semakin sakit. Ada pula yang justru malah jatuh pada penyesalan terdalam setelah rentang beberapa lama tidak bersua dengan orang yang meninggal.
We never know..
Saya pernah merasakan terluka saat berada pada posisi berduka, dan juga pernah tanpa sadar melukai pihak yang berduka karena tindakan saya. Berangkat dari pengalaman tersebut, ketika saya datang melayat ke rumah teman atau kerabat yang berduka, ada beberapa hal yang terus saya ingat. Setidaknya ada tiga hal yang mungkin sangat berkurang kadarnya pada keluarga yang sedang berduka, yaitu: energi, waktu, dan uang.
Keluarga yang sedang berduka mungkin sudah kehabisan tenaga karena menemani almarhum menjalani pengobatan, lelah menangis karena kehilangan, butuh waktu untuk istirahat, menerima kenyataan dan menenangkan diri. Mereka mungkin juga membutuhkan dukungan dana untuk pemakaman atau melunasi hutang-hutang dari pengobatan. Oleh karena itu, sebaiknya kita memberikan bantuan, bukannya malah memberatkan.
Hal yang harus diingat saat melayat
Agar pihak keluarga yang sedang berduka merasakan dukungan kita, jangan sampai merusak suasana duka itu dengan melakukan hal yang tidak perlu. Kita mungkin bisa mengingat hal-hal di bawah ini setiap kali kita melayat:
Melayat bukan bertamu
Saya tidak tahu tentang kebiasaan ini, yang jelas selama saya sekolah saya tidak pernah diajarkan untuk menjamu pelayat. Seringkali saya mendapati ini, dan setiap kali melihatnya mulut saya ingin berteriak ‘stop’, sayangnya tidak bisa. Beberapa kali memang saya perhatikan, yang sibuk menjamu pelayat adalah tetangga atau anggota komunitas Badan Amal Kematian yang diikuti oleh almarhum. Namun, tidak jarang saya menemukan keluarga yang berduka yang harus sibuk.
Menjamu di sini, acapkali tidak hanya menyediakan air mineral saja, akan tetapi bisa sampai kue-kue dan bahkan makanan utama untuk keluarga yang datang melayat dari jauh. Sampai saat ini, saya masih tidak sanggup menerima air mineral yang disodorkan untuk saya sebagai pelayat. Take your time, jangan layani saya.
Jangan merasa tamu, datang dan bawalah sesuatu
Jangan mengulik kronologis
Saya pernah melakukan kesalahan ini, dan sampai sekarang saya tetap saja merasa bersalah. Meskipun telah lewat sebulan sang buah hati berpulang, teman saya tetap tidak bersedia bercerita saat saya menanyakan bagaimana kronologisnya. Kebiasaan saya menanyakan riwayat perjalanan penyakit untuk menganalisis, sayangnya saat itu salah waktu, salah tempat, dan salah orang. Tidak ada gunanya saat kapapun itu ditanyakan, karena saya bukan dokter yang harus membuat laporan kematian, dan tentu saja anaknya bukan pasien saya. Dia begitu sedih, dan saya ternyata begitu jahat.
Lalu coba bayangkan bila, hal itu terus-menerus ditanyakan oleh orang yang berbeda-beda saat hari pertama berkabung? Sakitnya berulang-ulang, dan saya mengalaminya. Lelah luar biasa. Apalagi kalau sampai pertanyaan tersebut menjadi penghakiman, seperti ‘kenapa tidak diobati pakai herbal X’, ‘kenapa tidak ke orang pintar Y’, kenapa dan seribu kenapa lainya, seolah-olah almarhum dibiarkan saja menderita kesakitan tanpa ada usaha pengobatan. Bahkan ada yang ringan sekali mengatakan, “Loh anaknya dokter kok bapaknya nggak sembuh?” Aduh, yang Anda lakukan itu jahat!
Biarkan yang berduka bercerita, Anda tak usah bertanya.
Doakan dan diam
Saat melayat, sering kali tanpa sengaja malah menjadi ajang reuni, karena teman atau keluarga dari segala penjuru datang untuk menyatakan turut berduka. Mungkin ada rasa senang? Ingin melampiaskan rindu? Tahan, ini bukan panggung konser Anda. Datang, doakan, dan diam. Ingin mengobrol sambil tertawa cekikikan, silahkan pesan tempat di luar. Saya tidak bilang bahwa pelayat harus ikut menangis dan menekuk muka sepanjang di rumah duka, tapi mengertilah bahwa di masa ini pihak yang berduka perasaannya sangat sensitif. Kalau Anda ingin bicara, bicarakan bahwa almarhum adalah orang yang sangat baik semasa hidupnya.
Empati, datanglah bersama empati
Jangan sembarang mengambil foto
Anda yang bukan keluarga inti, tidak berhak mengambil foto tanpa izin, apalagi foto jenazah. Kita semua tentunya saat meninggal ingin dikenang dalam kondisi yang sehat, prima, dan cantik, bukan yang terbujur kaku. Bila ingin menyiarkan prosesi kepada kerabat dan teman yang mungkin tidak bisa hadir, Anda mungkin bisa menyorot atau membidik suasananya saja, siapa yang hadir di sana. Entahlah, bagi saya bukan sebatas foto jenazah saja, bahkan foto atau video dari keluarga yang menangis menurut saya tetap tidak etis diambil tanpa izin.
Nyatakan duka cita, simpan kamera
Jangan membanding-bandingkan
Begitu sensitifnya saya saat di masa berduka, ucapan seperti ‘sabar ya’ entah mengapa begitu menyesakkan. Saya merasa diperintah. Beda rasanya bila pelayat mengatakan kalimat berserah seperti ‘semoga Allah memberimu kesabaran’. Saya merasa ini adalah do’a, dan do’a ini telah membuat saya kuat.
Lalu ada lagi tipe yang mungkin bermaksud baik, akan tetapi caranya kurang tepat. MIsalnya dengan berkata:
“Nenek kamu masih mending, Si C kemarin sakitnya malah lebih lama, jadi lebih lama merawatnya.”
“Kamu sih ga terlalu sedih keguguran, Si D itu lebih sedih lagi loh, karena anaknya meninggal saat sudah sempat dibesarkan”